Taper Tantrum berhubungan erat dengan adanya kebijakan suku
bunga yang diterapkan oleh bank sentral Amerika Serikat, yaitu Federal
Reserve (The Fed). Taper Tantrum merupakan kebijakan mengurangi
nilai pembelian aset, seperti obligasi atau quantitative easing (QE)
oleh The Fed. Apabila hal tersebut terjadi yaitu efek dari kebijakan
Bank Sentral AS, The Federal Reserve ini dapat mendorong aliran modal
asing ke luar dari Indonesia sehingga dapat memicu gejolak pasar keuangan.
Seperti diketahui, tapering yang dilakukan beberapa bank sentral negara
maju memiliki potensi rambatan terhadap perekonomian khususnya dari sisi sistem
keuangan. Sri Mulyani mengatakan ekspektasi pemulihan ekonomi yang cepat dan
nyata memberi dampak nyata pada naiknya inflasi Amerika Serikat (AS).
Tapering ini dilakukan setelah sebelumnya bank sentral melakukan
penurunan suku bunga untuk mengantisipasi perekonomian. Setelahnya, bank
sentral akan melakukan pencetakan uang dengan membeli US treasury hingga
mencapai US$ 120 miliar per bulannya. Lalu, seiring dengan terjadinya pemulihan
ekonomi maka bank sentral akan mulai mengurangi pembelian surat utang. Inilah
yang disebut taper tantrum. Hingga saat ini masih belum bisa dipastikan
kapan keputusan tersebut akan diambil oleh The Fed. Namun pelaku pasar
sudah mulai mengkhawatirkan kondisi tersebut akan segera terjadi seiring dengan
semakin cepatnya akselerasi perekonomian Amerika pasca pandemi. Risiko yang
saat ini dilihat paling dekat oleh investor adalah bayangan inflasi yang
meningkat. Sebab jika inflasi meningkat mau tak mau The Fed akan mulai
menaikkan suku bunga atau mengurangi pembelian surat utang.
Kemudian, pertimbangan lainnya adalah rendahnya data ekspor dan impor
China karena dampak terjadinya kenaikan harga bahan baku hingga logistik yang
tersendat. Sehingga diperkirakan dalam waktu dekat akan terjadi normalisasi
inflasi. Pertimbangan lainnya adalah mulai stagnannya imbal hasil (yield)
US treasury 10 tahun di kisaran 1,6%. Hal ini menunjukkan bahwa bahaya
ancaman inflasi, seperti yang disampaikan The Fed bersifat transitory.
Memang
banyak faktor yang mendorong bank sentral AS melakukan pengetatan kebijakan
moneter, sehingga dapat menimbulkan taper tantrum. Namun yang paling umum,
dapat dilihat dari dua indikator utama, yakni data inflasi dan yield US
treasury. Imbal hasil atau yield US treasury saat ini
sudah naik ke kisaran 1,6%. Bahkan diperkirakan masih akan mendaki sampai level
1,9%. Sementara inflasi AS terus meningkat. Pada April, inflasi AS mencapai
angka 4,2%. Ini tanda-tanda yang sudah terlihat setelah pemerintah menggelontorkan
stimulus jumbo senilai USD 1,9 triliun yang dibagikan ke penduduknya.
Dampak Taper Tantrum ke Indonesia
1.
Kurs Rupiah Bisa Ambyar
Ketika
asing menarik dananya dari instrumen investasi saham atau obligasi, kemudian
keluar dari Indonesia, pasti membutuhkan dolar AS. Walhasil, permintaan dolar
AS akan meningkat. Bila banyak orang yang tukar rupiah ke dolar AS, kurs mata
uang Garuda bisa tertekan atau melemah. Apalagi disertai kepanikan, rupiah bisa
ambrol.
Taper
tantrum
pernah terjadi dan memukul pasar keuangan Tanah Air di tahun 2013. Nilai tukar
rupiah waktu itu di kisaran 9.700 per dolar AS. Tetapi merosot hingga Rp 14.700
per dolar AS pada September 2015. Pelemahannya lebih dari 50%. Sekarang saja
kurs rupiah menyentuh level Rp 14.262 per dolar AS (data JISDOR BI per 8 Juni
2021). Sementara posisi 4 Januari 2021 sebesar Rp 13.903 per dolar AS atau
melemah 2,5%.
Jika
rupiah melemah, biasanya akan diikuti kenaikan harga emas, barang-barang dan
bahan pangan impor, seperti barang elektronik, tempe (kedelai impor), bawang
putih, dan sebagainya. Bila taper tantrum jilid 2 sampai benar-benar
terjadi, mungkin saja rupiah akan bernasib sama dengan kondisi 2013. Atau
justru bertahan karena pastinya Bank Indonesia (BI) sebagai regulator akan
melakukan berbagai upaya untuk tetap menstabilkan nilai tukar rupiah.
2.
Suku Bunga Naik
Ini
dampak yang ditakuti para debitur, kenaikan suku bunga bank. Sejauh ini,
debitur dimanjakan dengan suku bunga rendah karena memang trennya demikian. Bayar
cicilan jadi lebih ringan, termasuk angsuran KPR. Tetapi hati-hati dengan
adanya taper tantrum jilid 2.
Saat
ekonomi AS pulih, inflasi naik, maka The Fed berpotensi menaikkan suku
bunga acuannya. Berarti kondisi sudah kembali normal. Efeknya apa? BI juga
harus mengerek 7 Day Reverse Repo Rate. Biar tetap menjaga daya tarik
investor. Investor melirik, debitur yang paceklik. Sebab pastinya perbankan
bakal mengatrol tingkat bunga kredit. Otomatis, cicilan KPR dan pinjaman lain
jadi lebih mahal.
3. IHSG dan Investasi Saham
Dulu
di 2013, porsi kepemilikan asing mondominasi di pasar saham. Kini, semakin
menyusut. Persentasenya sebesar 41,40%. Jikalau terjadi taper tantrum, dana
asing keluar, gejolak IHSG tidak akan separah 8 tahun silam. Meski begitu tetap
kena guncangannya.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar